KORUPSI
Menurut Baharuddin
Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang
tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan
perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang
merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Korupsi
adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang
dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan
unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih
berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai
sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan”
tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman.
Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka
paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan
dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas
penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran
tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat.
Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam
penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu
dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang
dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau
pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan
sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam
undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok
dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang
korupsi.
Apa yang dimaksud “perbuatan”,
tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud
adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat).
Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang
lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata
kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”.
Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila
melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya;
jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau
orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara
tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi.
“Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena
penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini
bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak
memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.
Unsur selanjutnya adalah “melawan
hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau
orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan hukum”. Apa yang dimkasud
dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum
itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau
peraturan perundanga-undangan yang telah diotorisasi/disahkan oleh yang
berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat
kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena
terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu suatu perbuatan tidak dapat
dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum
pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan
melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi
juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan
pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak
melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada
padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi.
Adanya kata-kata “merugikan
perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik
dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian pada
badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran
negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat
perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian
negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya
dianggap telah merugikan negara.
Korupsi di
Indonesia terjadi menurut Menurut Prop. Dr. Nur Syam, M.Si. penyebab seseorang
melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan
yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu
ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara
berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika
menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab
korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan
yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi
dengan demikian kiranya akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan
tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang
kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan
dalam mengakses kekayaan.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
mengakui, ada empat faktor dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia,
yakni faktor penegakan hukum yang masih lemah, mental aparatur, kesadaran
masyarakat yang masih rendah, dan `political will.` "Dari empat faktor itu
telah menyebabkan uang negara dikorupsi lebih kurang Rp300 triliun tiap
tahunnya," katanya.
Erry R.Hardjapamekas, ia menyebutkan
tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
(1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa, (2) Rendahnya gaji
Pegawai Negeri Sipil, (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan
peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme, (5)
Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan
birokrasi belum mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan
lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral
dan etika.
Goenawan Wanaradja, SH,MH Salah satu
penyebab yang paling utama dan sangat mendasar terjadinya Korupsi di kalangan
para Birokrat, adalah menyangkut masalah keimanan, kejujuran, moral, dan etika
sang Birokrat itu sendiri.
Kemiskinan –kata orang– merupakan
akar dari persoalan; tanpa kemiskinan tidak akan ada korupsi. Apabila
kemiskinan merupakan penyebab korupsi, bagaimana menjelaskan mengapa mereka yang
terlibat korupsi besar-besaran justru bukan orang miskin; banyak diantara
mereka adalah orangorang yang mempunyai uang dan kekuasaan.
Fenomena bahwa korupsi tidak berbanding lurus dengan
kemiskinan dapat dijelaskan dengan “Hukum Kesepadanan Korupsi” yang dirumuskan
oleh Revrisond Baswir. Hukum ini menyatakan korupsi berbanding lurus dengan
kekayaan seseorang. Artinya, semakin kaya seseorang, semakin besar kekuasaan
yang dimilikinya dan dengan demikian semakin besar jumlah yang potensial
dikorup.
Di Indonesia, dimana elitnya sangat korup, pemerintah
tidak mampu untuk membayar pegawai negeri secara memadai. Penghasilan yang
tidak sepadan ini dapat saja dianggap sebagai penyumbang sebab terjadinya
korupsi pada tingkatan rendah, kalau tidak pada seluruh sistem.
Bibit Samad Riyanto, membeberkan
lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi. "Satu
adalah sistem politik. Ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan,
seperti perda, dan peraturan lain. 'Mereka' atau pelaku dapat berlindung dengan
aturan tersebut," ujar Bibit, ditemui wartawan di kediaman almarhum orang
tuanya di Jl Suparjan Mangun Wijaya, Sukorame, Mojoroto, Kota Kediri, Kamis
(3/12/2009) malam. Kedua, imbuh Bibit adalah intensitas moral seseorang atau
kelompok. "Ketiga adalah remunisasi, atau pendapatan (penghasilan) minim.
Namun tidak lantas yang memiliki pendapatan tidak melakukan korupsi, jadi
kembali lagi ke moral tadi," jelas Bibit. Keempat, terus Bibit, pengawasan
baik bersifat internal-eksternal, dan kelimanya adalah budaya taat aturan.
"Ini yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan
sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan.
Sekarang Indonesia menjadi negara no 3 terkorup di dunia,adapun
dampak-dampaknya yang dirasakan rakyat Indonesia karena banyak
petinggi-petinggi negara yang melakukan korupsi antara lain :
-Kenaikan
harga-harga barang akibat anggaran APBN yang dikorupsi
-Bertambahnya rakyat miskin
dikarenakan uang tunjangan bagi rakyat miskin yang seharusnya disalurkan
dikorupsi.
-Mahalnya biaya yang harus rakyat
keluarkan untuk mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang
seharusnya bersubsidi.
-Kesenjangan pendapatan semakin
tinggi.
-Banyaknya rakyat yang di PHK akibat
perusahaan kecil tempat mereka kerja gulung tikar akibat dana investasinya
dikorupsi.
-Dan masih banyak lagi dampak
negatif korupsi.
Karena begitu banyaknya dampak yang dirasakan
masyarkat,bagi petinggi-petinggi negara apakah akan terus menyenangkan dirinya
sendiri dengan memakai uang rakyat?
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar